• Selama tiga kali pasaran terakhir, harga penjualan sapi di Pasar Hewan Sunggingan, Boyolali mengalami penurunan Rp 500.000 – Rp1 juta tiap ekor.
  • Revitalisasi Umbul Tirtomulyo di Dusun Umbul, Kemasan, Sawit, Boyolali, tahap pertama sudah berjalan 60%.
  • Sebanyak 10 orang siswa dari OSIS SMK Ganesha Tama dan SMK Muhammadiyah 4 mengadakan kerja bakti membersihkan coretan di dinding bagian depan Taman Sono Kridanggo dan BPD Boyolali.
  • Menghadapi musim penghujan yang intensitasnya mulai tinggi, BPBD Boyolali melakukan pemetaan daerah rawan bencana alam.

Rabu, 22 Februari 2012

Uji Nyali Di Jembatan Gantung Peninggalan Belanda









Dengan konsentrasi penuh, seorang perempuan tengah baya mengendarai sepedanya melintas di atas papan kayu selebar 50 cm, Selasa (21/2/2012). Siapapun yang melihat pasti akan menyebutnya bernyali besar.
Maklum, dia bukan sedang berkendara di atas jalan biasa. Tapi melintas di jembatan yang berada sekitar 10 meter di atas aliran Sungai Pepe, penghubung Dukuh Gatak, Desa Ngesrep, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali dan Dukuh Karanganyar, Desa Bolon, Kecamatan Colomadu, Karanganyar.  Papan kayu yang terpasang hanya cukup dilewati oleh pejalan kaki dan pengendara sepeda motor.
Benar-benar butuh keberanian ekstra untuk melakukannya. Namun perempuan tersebut sama sekali tak ketakutan. Maklum bukan sekali ini dia menantang bahaya. Hal yang sama juga kerap dilakukan oleh penduduk desa setempat. Meskipun berisiko, warga tetap nekat melewati jembatan bekas peninggalan Belanda itu. Itu adalah jalur terdekat penghubung dua desa. Jika memilih jalan yang lebih aman, warga harus memutar cukup jauh, sekitar 6 km.
Jembatan dengan panjang sekitar 30 meter itu bukanlah jembatan sebenarnya. Bangunan itu adalah talang saluran irigasi, kemudian difungsikan sebagai jalan pintas bagi warga sekitar. Sebagian warga hanya menuntun sepedanya jika melintas. Namun ada juga yang nekat tetap menaiki sepeda atau motornya dengan berpegangan pada besi pengaman yang dikaitkan dengan seling baja yang terpasang di sisi barat jembatan.
Di sisi timur belum terpasang besi pengaman serupa. Otomatis, pengendara motor dari arah utara butuh perjuangan berat. Caranya, tangan kanan berpegangan pada besi pengaman. Sedangkan tangan kiri gantian memegang stang gas.
“Saya sudah tidak takut lagi melewati jembatan ini walaupun naik sepeda, karena sudah biasa. Ini jalan terdekat untuk pergi ke Desa Bolon. Tapi lewat jembatan ini memang harus hati-hati, apalagi yang belum terbiasa. Sudah beberapa orang yang jatuh ke sungai hingga patah tulang, bahkan ada yang meninggal,” kata Asmawati, Warga Dukuh Gatak, Desa Ngesrep, Ngemplak, ketika ditemui seusai melintas jembatan, Selasa (21/2).
Warga lainnya asal Ngesrep, Fitri, menyebut jembatan itu sudah ada sejak zaman Belanda. Sejak dulu memang kondisinya seperti itu. Meski berbahaya, warga sudah terbiasa lewat karena mempersingkat jarak tempuh. Ketika ditanya apakah setuju jika papan di jembatan diperlebar, Fitri dengan tegas menolak.
“Papannya segitu saja orang sudah berani naik motor atau sepeda. Kalau papannya diperlebar, nanti malah ngebut. Tambah bahaya,” tukas Fitri.



Artikel Terkait